MENJAWAB SEMUA SOLUSI DALAM MENGGAPAI CITA-CITA ANDA

Kamis, 23 Mei 2013

Berburu Ijazah Kejar Paket C (2) - Ternyata ” Sakti” untuk di Luar Negeri

Ijazah Kejar Paket C memiliki ” kesaktian” luar biasa. Siswa sekolah-sekolah internasional di Indonesia sengaja memburu ijazah ini supaya bisa meneruskan ke perguruan tinggi (PT) yang layak, baik dalam maupun luar negeri.

Fenomena ini sudah menjadi tren di sekolah-sekolah berbasis kurikulum internasional. Para siswa di sana tidak akan bisa melanjutkan ke PT bermuatan kurikulum lokal, karena ijazah yang dikeluarkan tidak diakui secara nasional. Kondisi lebih memprihatinkan juga terjadi di luar negeri.

Jika siswa sekolah internasional tidak memiliki ijazah lokal, minimal Ijazah Paket C, mereka tidak akan mendapatkan sekolah yang layak di luar negeri, baik Asia maupun Eropa. Untuk itu, siswa-siswa ini bertekad memburu ijazah Kejar Paket C. Ijazah ini bisa dipergunakan untuk memilih PT sesuai selera para siswa.

Di SMAN 11 Surabaya misalnya, ada sebanyak 60 siswa sekolah internasional yang mengikuti Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK). Umumnya, pendidikan kesetaraan ini digunakan bagi mereka yang tidak dapat melanjutkan sekolah karena bekerja, drop out,ataupun gagal formal dalam ujian nasional (UN).

Namun, UNPK kali ini jadi serbuan siswa sekolah internasional demi memperoleh ijazah negara untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Meski sehari-hari belajar di sekolah berkelas, mengerjakan soal UNPK bagi siswa internasional ini bukan hal mudah. Mereka mengaku kesulitan mengerjakan dan memahami soal-soal yang ada. Kesulitan ini diakui salah seorang siswa dari Spins International School Zaenab.

Dia mengatakan, soal-soal UNPK hampir sama sekali tidak diajarkan dalam kurikulum internasional di sekolahnya. Selain itu, dia cukup kesulitan memahami soal yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Perempuan keturunan Pakistan ini mengaku biasa mengerjakan soal berbahasa Inggris, sementara dalam UNPK soal-soal yang disajikan seluruhnya menggunakan bahasa Indonesia.

” Saya mau melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi Culinary Art Ottimo Surabaya. Jadi harus punya ijazah resmi dari negara,” ungkap Zaenab saat ditemui tengah menunggu bel masuk UNPK. Tidak hanya itu, kesulitan terbesar yang dia temui saat mengikuti UNPK adalah mengerjakan soal mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

” Di sekolah kami tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia dan PPKn. Jadi memang kita sangat ketinggalan untuk dua mata pelajaran ini,” ungkap perempuan berparas ayu ini. Untuk mengejar ketertinggalan, Zaenab menambah jam belajarnya dengan bergabung di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Interaktif Surabaya.

Selama enam bulan, dia belajar intensif termasuk rutin mengikuti try outselama dua bulan menjelang UNPK. Hal serupa dialami Lucya yang berharap dapat meraih ijazah dari pemerintah untuk melanjutkan studi ke salah satu perguruan tinggi di Taiwan. Lucya mengaku sangat membutuhkan ijazah ini agar dapat diterima di perguruan tinggi favorit di negara yang dia tuju.

Sayangnya, hanya 80% dari soal yang dia kerjakan diyakini benar. Selebihnya dia masih ragu jika jawaban dari soal itu apakah benar atau tidak. ” Kalau ijazah dari sekolah, kita hanya bisa diterima di sekolahsekolah pinggiran. Jadi, kalau mau masuk perguruan tinggi favorit di Taiwan, yaharus punya ijazah dari pemerintah setempat,” ungkap Lucya.

Direktur PKBM Interaktif Tutik Hidajati mengatakan, semangat para siswa internasional ini sangat besar untuk meraih ijazah pemerintah. Apalagi semangat itu juga didukung orang tua yang sangat memperhatikan perkembangan belajar anaknya di PKBM. ” Kalau salah satu dari mereka tidak ikut try out,orang tua pasti sudah bingung dan segera melapor ke kami.

Mereka sangat memperhatikan anakanaknya” ujar perempuan berjilbab ini. Semangat siswa internasional ini, lanjut Tutik, sangat bertolak belakang dengan peserta didik yang ikut pendidikan kesetaraan karena drop out, gagal formal, atau bekerja. Sebagian besar di antara mereka sama sekali tidak dipungut biaya lantaran berasal dari keluarga tidak mampu. Tetapi, semangat mereka justru jauh lebih rendah dibanding siswa internasional.

Untuk memenuhi biaya pendidikan anak-anak tidak mampu ini, Tutik menggunakan cara pembiayaan silang antarpeserta didik. Bagi siswa yang berasal dari keluarga kaya, seperti siswa internasional, sebagian biaya pendidikan mereka sudah cukup untuk membiayai peserta didik yang tidak mampu. ” Itu yang memprihatinkan sampai sekarang. Padahal, pendidikan mereka sudah kami gratiskan,” ungkap Tutik.

Selain Spins International School, Tutik mengaku juga mengajar siswa dari sekolah internasional lainnya seperti Merlion International School dan IBMT University. ” Total seluruh siswa yang mengikuti pendidikan kesetaraan dari sekolah internasional sebanyak 150 siswa,” tutur dia.

Sementara itu, Kabid Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Nasor mengatakan, UNPK tidak lagi dapat diidentikkan dengan siswa putus sekolah atau gagal formal. Sebab, tingkat kesulitannya juga tidak jauh berbeda. Selain itu, di Jatim UNPK ini kerap digunakan para pejabat yang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

” Tahun lalu, di Jatim ada tiga kepala daerah yang merupakan lulusan dari siswa kejar paket,” ungkapnya. Untuk saat ini, tren yang keluar adalah lulusan sekolah internasional berupaya mendapatkan Ijazah Paket C. Upaya ini dilakukan karena bisa menentukan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Jadi, Kejar Paket C bukan dipandang sebelah mata melainkan kebutuhan bagi siswa sekolah yang memakai kurikulum internasional. Menurut Nasor, jika siswa melanjutkan kuliah di luar negeri dengan memakai ijazah sekolah internasional, mereka akan diterima ke PT yang tidak layak. Beda kalau sudah mengantongi Ijazah Kejar Paket C, mereka bisa memilik perguruan tinggi yang diinginkan. bersambung

Sumber: http://www.koran-sindo.com/node/309014
Share: