Kegiatan Belajar Di PKBM Cemerlang |
Sontak kebijakan ini memicu pendapat miring bahwa pendidikan kesetaraan akan dimasukan dalam ranah jalur pendidikan formal. Dalam bahasa lain, diduga ada upaya memformalkan pendidikan kesetaraan.
Dugaan itu wajar hinggap di
benak sebagian besar pelaku dan penyelenggara pendidikan kesetaraan.
Namun bisa jadi dugaan itu juga sebagai perwujudan kekhawatiran akan
adanya berbagai regulasi yang lebih ketat terhadap standar nasional
pendidikan untuk pendidikan kesetaraan. Hal mana acuan standar selama
ini belum dapat dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan kesetaraan
dengan berbagai alasan klasik bahwa pendidikan nonformal adalah
pendidikan luwes sekali, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat atau
warga belajar.
Namun demikian ketika kita ingin mencapai tujuan pendidikan, maka acuan dasar atau benchmark
menjadi syarat mutlak bagi setiap satuan pendidikan, termasuk
pendidikan kesetaraan. Acuan dasar tersebut merupakan standar nasional
pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan
satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan
layanan pendidikan yang bermutu. Standar nasional pendidikan tersebut
selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan dan dioperasionalkan oleh Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Permendiknas/Permendikbud yang mengatur masing SNP
dimaksud.
Pendidikan kesetaraan telah
memiliki standar isi sebagaimana tertuang dalam Permendiknas nomor 14
Tahun 2007 dan standar proses sebagaimana tertuang dalam Permendiknas
Nomor 03 Tahun 2008. Di samping itu sudah memiiki standar adminitrasi
(Permendiknas nomor 43 Tahun 2009) dan standar pengelola (Permendiknas
nomor 44 Tahun 2009). Belum lagi berbagai pedoman dan acuan yang
dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Kesetaraan Ditjen PNFI (waktu
itu), misalnya mengenai pedoman penyelenggaraan program paket, tes
penempatan dan lain sebagainya.
Persoalannya adalah berbagai
acuan dasar tersebut belum mampu untuk meningkatkan kualitas program
pendidikan kesetaraan secara siginifikan terutama pada aspek kualitas
proses pembelajaran.
Lulsan program Paket C, begitu
pula Paket A dan Paket B, secara yuridis formal memiliki hak
eligibilitas untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di jalur
pendidikan formal. Sudah banyak testimoni bahwa lulusan Paket C diterima
di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Namun demikian persoalan
kesetaraan mutu (proses) masih menjadi tanda tanya besar. Mengenai hal
ini pun tidak bisa menyatakan bahwa mutu (proses) Paket C sama dengan
SMA. Bahkan setara dalam hal mutu (proses) pun masih berat untuk
menyatakannya, karena dukungan sumber daya manusia, sarana dan prasarana
yang tidak sebanding antara Paket C dan SMA.
Berangkat dari kondisi itulah
kemudian Direktorat Pembinaan SMA berpijak untuk merumuskan strategi
pembinaan program Paket C, tanpa berupaya sedikit pun untuk menariknya
ke ranah jalur pendidikan formal. Menurut bahasa Totok Suprayitno, Ph.D,
Direktur Pembinaan SMA, dalam berbagai kesempatan bertemu dengan
komunitas penyelenggara dan pemangku kepentingan Paket C, menyatakan
bahwa menjadi tugas kita bersama untuk meningkatkan kesetaraan mutu
(proses). Karena itulah dalam merumuskan berbagai kebijakan terhadap
penyelenggaraan Paket C, Direktorat Pembinaan SMA merangkul berbagai
pihak yang selama ini berkecimpung di dunia pendidikan kesetaraan (Paket
C). Hal ini didasari bahwa pendidikan kesetaraan masih tetap merupakan
salah satu bentuk pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 26 ayat (3). “Kami ini
mendapatkan amanat untuk mengembangkan Paket C dan akan melaksanakan
sebaik-baiknya sesuai rambu-rambu yang ada, karena itulah kami mohon
bantuan pemikiran kawan-kawan yang selama ini sudah menggeluti Paket C.”
Demikian ungkap Ilham Anwar koordinator Paket C di Dit Pembinaan SMA
pada kesempatan ketika bertemu saya di Cisarua Bogor (20/03/2012).
Demikian pula di lapangan, penyelenggara program Paket C adalah satuan pendidikan nonformal sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 pasal 100 ayat (3). Bukan berarti karena regulasi ditentukan oleh Direktorat Pembinaan SMA, kemudian Paket C di lapangan dikelola oleh satuan pendidikan formal (SMA). Hanya memang kemudian akan menjadi persoalan di level kabupaten/kota bahwa regulatornya adalah bidang pendidikan menengah yang harus berhubungan dengan satuan pendidikan nonformal yang memiliki kultur yang berbeda dengan satuan pendidikan formal. Saya pikir ini adalah sebuah handicap yang menarik dan hidup akan semakin menarik serta lebih berwarna jika bisa mengatasi persoalan perbedaan kultur tersebut. Semoga.
Sumber ; http://fauziep.blogdetik.com/2012/03/13/program-paket-c-masih-tetap-pendidikan-nonformal/
1 komentar:
sangat menarik pak, semoga pendidikan kesetraan tidak terjebak dalam dikotomi kebijakan yg kurang sesuai. terimakasih sudah dishare. salam.
Posting Komentar